Monday 29 September 2014

si GhuTeng: PERADABAN ISLAM MASA DAULAH FATHIMIYAH

si GhuTeng: PERADABAN ISLAM MASA DAULAH FATHIMIYAH: BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Islam mengalami peradaban di Mesir dimulai ketika kekuasaan Daulah Fathimiyah mulai mas...

PERADABAN ISLAM MASA DAULAH FATHIMIYAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Islam mengalami peradaban di Mesir dimulai ketika kekuasaan Daulah Fathimiyah mulai masuk ke daerah tersebut yang di pimpin oleh Al Mu’iz pada tahun 696 M. Peradaban islam ini dari masa ke masa mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Ada beberapa fase dalam perkembangannya. Dalam hal ini, kami akan menjelaskan sedikit sejarah tentang peradaban islam pada masa Daulah Fathimiyah di Mesir.
B.   Rumusan Masalah
1.     Sejarah Singkat Daulah Fathimiyah di Mesir
2.     Peradaban Islam Masa Daulah Fathimiyah
3.     Masa Kemunduran Dinasti Fathimiyah

 
BAB II
PEMBAHASAN

1.     Sejarah Singkat Daulah Fathimiyah di Mesir
Berdirinya Daulah Fathimiyah ini adalah hasil perwujudan dari cita-cita para pengikut faham syi’ah yang menginginkan pemerintahan di bawah kepemimpinan keluarga Ali bin Abi Thalib. Keinginan ini muncul karena semenjak kekalahan Ali dari Muawiyah, Syi’ah menjadi faham keagamaan yang sering mendapatkan tekanan dari khalifah yang berkuasa. Mereka memiliki keyakinan bahwa khalifah setelah Nabi Muhammad seharusnya berada di tangan Ali dan keluarganya. Khalifah menurut kaum Syi’ah memiliki kedudukan sama seperti Nabi Muhammad, sebagai pemimpin agama dan sekaligus sebagai kepala Negara.[1]
Berdirinya Dinasti Fathimiyah bermula pada akhir abad ke-10.[2] Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Isma’iliyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bawah tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas.[3] Hal ini di lakukan untuk menghindari pemberangusan yang dilakukan Daulah Abbasiyah yang beraliran Sunni. Lebih dari satu setengah abad kelompok Syi’ah Isma’iliyah mengembangkan dakwah dan membangun kekuatan hingga lahir Daulah Fathimiyah.[4]
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama. Pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Isma’iliyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab, aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah.[5] Runtuhnya daulah Aghlabiyah inilah yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Daulah Fathimiyah.[6]
2.     Peradaban Islam Pada Masa Daulah Fathimiyah di Mesir
Setelah basis kekuasaan Daulah Fathimiyah di Tunis kuat, maka Daulah Fathimiyah di bawah pimpinan al Mu’iz (khalifah ke-4) dengan panglimanya Jauhar al Katib al Siqili dapat menguasai Mesir pada tahun 696 ia mendirikan kota baru yang di sebut al Qahirah (Kairo) yang berarti kemenangan pada tahun 326 H/973 M dan kemudian menjadikannya sebagai ibu kota Daulah Fathimiyah pada masa-masa selanjutnya.[7] Pada periode ini perkembanggan islam di Mesir sangatlah pesat terutama pada masa kepemimpinan al-Mu’iz, al-Aziz, dan al-Hakim.
Pada masa Al-Muiz didirikanlah masjid Al-Azhar atas inisiatif Jauhar yang  dijadikan sebagai salah satu komitmen untuk menghidupkan peradaban islam.[8] Al-Mu’iz juga melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[9] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.[10]
Pada masa  Al-Aziz masjid al azhar mengalami perubahan besar. Keistimewaan masjid ini, di mulai dari sebuah masjid dan berkembang menjadi sebuah universitas. Al azhar yang dibangun tahun 970 M sebagai masjid yang baru, lama kelamaan menjadi pusat pendidikan tinggi islam yang berkanjut sampai sekarang. Semula perguruan tinggi al azhar dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin syi’ah, namun kemudian oleh Shalahudin Al-Ayyubi di ubah menjadi pusat pendidikan sunni sampai sekarang.[11]
Al-Aziz juga membangun kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian dan membangun jembatan guna memudahkan perpindahan barang dan orang. Usaha ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian Negara. Hubungan dagang dengan negeri-negeri lain juga dibangun. Masyarakat di dorong menghasilkan produk industri dan seni yang kompotitif. Untuk menjadikan mesir sebagai kota perdagangan dunia, dibangunlah pasar dengan 20.000 toko.[12]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga yang mengoleksi jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan apoteker.[13]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi  bidang :
a.     Administrasi dan pemerintahan
b.     Ekonomi
c.      Seni dan kemegahan pembangunan fisik
d.     Ilmu pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syi’ah Isma’iliyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.  Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Isma’iliyah oleh Dinasti Fathimiyah. Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
3.     Masa Kemunduran Dinasti Fathimiyah
Kemunduran dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang duilakukan Dinasti abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari Barbar menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.[14]
Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur 11 tahun ketika naik tahta. Pemerintahnya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberap orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja keristen, termasuk didalamnya kuburan suci umat Kristen.
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khlifah, kekuasaan sesungguhnya berada ditangan para wazir, yang kemudian sering mendapat julukan kebangsawanan al-malik. Anak dan pengganti al-Hakim, yaitu al-Zahir (1021-1035) berumur 16 tahun ketika naik tahta. Pengganti al-Zahir adalah anaknya yang berusia 11 tahun , ma’ad al-Mutashir (1035-1094), yang berkuasa hampir 60 tahun, sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam Sejarah islam.[15]
Sejak kekuasaan Ma’ad al-Muntashir kekacauan terjadi dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang turki, suku Berber dan pasukan sudan. Kekuasaan Negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah, ditandai dengan munculnya perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Ketika al-Mustanshir meninggal, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak khlifah paling muda yaitu berumur lima tahun sebagai khalifah denganjulukan al-Musta’li (1101-1130) dengan harapan bahwa ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Ketika al-Hafidh (1130-1149) meninggal, ekuasaan-kekuasaannya betul-betul hanya sebatas istana kekhalifahan.
Pamor Dinasti Fatimiyah karena semakin banyaknya khalifah yang diangkat dalam usia yang sangat belia, disamping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan dikalangan militer antara unsure Barbar, Turki bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi para penguasa itu selalu tengelam dalam kehdupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology syi’ah pada rakyat yang mayoritas sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan diantara pejabat dan militer dan ketidak puasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul baying-bayang serbuan tentara salib.
 Disusun Oleh: achmad asshidiq dan Nur Rohmah

[1] Machfud Syaefudin,dkk, Dinamika Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Ilmu,2013),  hal.113
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Ed. 1), hal. Pendahuluan
[3] G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, ( Bandung: Mizan,1993), hal. 17
[4] Machfud Syaefudin, Op.cit. hal. 114
[5] Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, ( Jakarta: Rineka Cipta,2003),  hal. 19
[6] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 115
[7] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Op.cit., hal. 196
[8] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 123
[9] Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235
[10] Abu Su’ud, op.cit, hal.92
[11] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 148-149
[12] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 124                                                                
[13] Ibid hal.125
[14] Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), hal. 792
[15] Ibid, hal. 793

HUKUM PAJAK

BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya, maka perlu terlebih dahulu memahami pengertian dari pajak dan hukum pajak iru sendiri. Seperti diketahui bahwa negara dalam melaksanakan pemerintahan memiliki kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahtraan, keamanan, pertahanan, kesehatan maupun kecerdasan hidunya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia serta memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”. Dariuraian tersebut tampak bahwa karena kepentingan rakyat, maka negara memrlukan dana untuk memenuhi kepentingan tersebut. Dana tersebut didapatkan dari hasil pemunutan dari rakyat yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajk juga harus berdasarkan persetujuan dari rakyat dan haruslah berdasarkan undang-undang yang disetujui oleh rakyat memalui dewan perwakilan rakya.
Berdasarkan uraian di atas pada kesempatan ini kami akan mencoba untuk memaparkan perihal pengertian pajak dan hukum pajak dengan harapan dapat memberikan pemahaman bagi kita semua tentang pajak dan hukum pajak di indonesia. Dalam pembahasannya kami membuat beberapa rumusan masalah untuk meberi patasn pembahasan sebagaimana tertera pada poin dua.
2.     Rumusan Masalah
a.     Pengartian Pajak dan Hukum pajak
b.     Sejarah Perpajakan
c.      Pembagian Pajak
d.     Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional



BAB II
PEMBAHASAN
a.Pengertian Pajak dan Hukum Pajak
1.     Pengertian Pajak
Beberapa pendapat para pakar mengenai perpajakan diantaranya:
·        Mr. Dr. N. J. Feldmann berpendapat “ pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkan ecara umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”[1].
·        Prof. Dr. M. J. H. Smeets, berpendapat “pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutag melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.[2]
·        Dr. Soeparman Soemahamidjaja berendapat “ pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum”[3]
·        Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. berpendapat “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Dari empat pengertian pajak di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
1.     Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang, jadi apabila pemungutan pajak tidak sesuai dan didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka ini  tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
2.     Sifatnya dapat dipaksakan, dalam arti bila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, hutang ini dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita.
3.     Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang dapat dirasakan langsung oleh pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.
4.     Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat atapun pemerintah daerah (tidak boleh dilakukan oleh swasta)
5.     Pajak digunakan muntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negri, dan sebagainya.[4]
2.     Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum publik yang mengatur hubungan negara dengan orang-orang atau bdan-badan yang berkewajiban membayar pajak.[5] Dengan katalain hukum pajak menerangkan tentang:
·        Siapa-siapa wajib pajak dan apa kewajiban mereka terhadap pemerintah;
·        Objek-objek apa yang dikenakan pajak;
·        Cara penagihan pajak;
·        Cara mengajukan keberatan dan sebagainya.
Sebagai Hukum, peraturan-peraturan perpajakan pada intinya bagi wajib pajak memuat kewajiban-kewajiban, hak-hak dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya. Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Publik, khususnya temasuk lingkungan Hukum Administrasi Negara. Hukum Pajak tidak terlepas dari bagian-bagian Hukum lainnya, melainkan memiliki hubungan erat dengan Hukum Perdata, dan Hukum Pidana.[6]  
b.     Sejarah Perpajakan
Pajak pada mulanya dalah suatu upeti namun sifatnya merupaka suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada sang raja atau penguasa. Namun, dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang dilakukan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air untuk pengairan sawah, dan lain-lain.[7]
Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, maka sifat upeti yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut, kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, akan tetapi unsur keadilan lebih diperhatikan.
Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.     Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No. 13);
2.     Aturan Bea Meterai (Stbl 1921 No. 498);
3.     Ordonansi Bea Balik  Nama (Stbl 1924 No. 291);
4.     Ordonasi Pajak Kekayaan (Stbl 1932 No. 405);
5.     Ordonasi Pajak Kendaraaan Bermotor (Stbl 1934 No. 718);
Dan masih banyak lagi berbagai undang-undang yang mengatur tentang perpajakan pada zaman belanda.
Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, maka diundangkan lagi beberapa undang-undang antara lain:
1.     Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968;
2.     Undang-undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Deviden yang diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royaliti;
3.     Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
4.     Undang-undang Nomor 74 tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
5.     Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan megakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Menyadari kondisi tersebut, maka pada tahun 1983 pemerintah bersama-sama dengan  Dewan Perwakilan Rakya sepakat untuk melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut undang-undang yang ada dan menggunakan lima paket unang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dupelajari dam dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam pemungutan pajak dan unsur keadilan lebih diutamakan. Kelima undang-undang yang dimaksud adalah:
1.     Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
2.     Undang-undang  Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3.     Undan-undang Nomor 8 Taahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Niai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM);
4.     Undang-undang Nomor 12 Tahun 1983 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
5.     Undang-undang Nomor 13 tentang Bea Meterai (BM);
Dalam perkembangannya lima undang-undang di ataspun masih mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan, yaitu pada tahun 1994, 1997, dan 2000.  Hal ini dilakukan dalam rangka memberi rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak.

c.      Pembagian Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan dapat digolongkan dalam 3 pembagian yaitu menurut sifatnhya, objeknya, dan lembaga pemungutannya.
1.     Berdasarkan Sifatnya
Dari segi sifatnya pajak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang ada waktu tertentu, misalnya pajak penghasilan. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.[8]
2.     Berdasarkan  Objeknya
Dari segi objeknya pajak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subyektif adalah pajak yang pertama-tama berdasarka keadaan pribadi Wajib Pajak. Setelah diketahui keadaanya barulah dilihat keadaan objek sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya pajak penghasilan. Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan pertama-tama dengan melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau atau peristiwa yang menyebabkan kewajiban untuk membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjek yang berhubungan hukum dengan objek tersebut, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
3.     Berdasarkan Lembaga Pemungut
Pajak dilihat dari segi lembaga pemungutnya digolongkan menjadi dua golongan, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah.
Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Depertemen Keuangan cq. Hasil dari pemungutan pajak dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa pajak yang dipungut oleh pemerintah diantaranya pajak penghasilan, pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Bea Meterai.
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Depertemen Pendapatan Daerah. Hasil dari pemungutan pajak tersebut dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah juga dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu Tingkat I yang terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, kemudian Tingkat II yang terdiri dari : Pajak Hotel Dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan.[9]
selain melakukan pemungutan pajak daerah, Pemerintah Daerah juga melakukan retribusi sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan, yang terdiri atas tiga jenis retribusi:
·        Retribusi Jasa Umum;
·        Retribusi Jasa Usaha;
·        Retribusi Perizinan Tertentu.
d.     Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Dalam literatur ternyata Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya (penyelenggara pemerintah)  dalam melaksanakan tugas administrasi negara. Sekalipun demikian, dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan hukum pidana.
1.     Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata merupakan hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan masyarakat Wajib Pajak. Hubungan yang jelas tampak adalah bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata misalnya berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan, dan warisan. Seseoran yang melakukan perjanjian jual beli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk melakukan pengenaan pajak, misalnya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; transaksi penjualan tanah dan bangunan antara pihak penjual dam pembeli, merupakan perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau objek dikenakannya pemungutan atas transaksi tersebut.[10]
2.     Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Hukum Pidana yang merupakan bagian dari hukum pubik merupaka hubungan hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah tindak pidana. Ketentuan hukum pidana yang diatur di dalam KUHP banyak digunakan dalam peraturan undang-undang pajak. Paling mudah bila kita melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 yang dengan jelas sekali menyebut adanya sangsi pidana terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan dibidang perpajakan. Bahkan ancaman-ancaman pidana dalam Hukum Pajak selalu mengacu pada ketentuan Hukum Pidana, misalnya terhadap Wajib Pajak yang memindah tangankan atau memindah hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 231 KUH Pidana.[11] 
BAB III
PENUTUP
a.     Kesimpulan
·        Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah dan dibebankan kepada warga negara yang sifatnya dapat dipaksakan dan dalam pemungutannya berdasarkan undang-undang yang disepakati oleh seluruh warga negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
·        Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum publik yang mengatur hubungan negara dengan orang-orang atau bdan-badan yang berkewajiban membayar pajak.
·        Sejarah Pajak, pada mulanya dalah suatu upeti namun sifatnya merupaka suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada sang raja atau penguasa. Namun, dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
·        Pembagian pajak
1.     Berdasarkan Sifatnya
-         Pajak Langsung
-         Pajak Tidak Langsung
2.     Berdasarkan Objeknya
-         Pajak Subjektif
-         Pajak Objektif
3.     Berdasarkan Lembaga Pemungutnya
-         Pajak Pusat
-         Pajak daerah
·        Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum lainnya
-         Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata merupakan hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan masyarakat Wajib Pajak.
-         Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Hukum Pidana yang merupakan bagian dari hukum pubik merupaka hubungan hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah tindak pidana.

Daftar Pustaka
Bohari, S.H.,MS. H, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Sutedi, Adrian , Hukum Pajak , Sinar Grafika, Jakarta, 2011
 C.S.T. Kansil, S.H. Drs, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN BALAI PUSTAKA, Jakarta, 1980
B. Ilyas, Wirawan dan Richard Burton, Hukum Pajak, Penerbit Selemba Empat, Jakarta, 2004
Disusun oleh: asshidiq achmad dan Akatina

[1] Adrian Sutedi, Hukum Pajak ,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.3
[2] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 19
[3] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar Hukum Pajak, hlm. 20
[4] H. Bohari, S.H.,MS, Pengantar Hukum Pajak, hlm. 21
[5] Adrian Sutedi, Hukum Pajak , hlm. 6
[6] Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1980), hlm. 313
[7] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Penerbit Selemba Empat, 2004), hlm. 1
[8] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 17
[9] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 18
[10] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 10
[11] Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, hlm. 11