Monday, 29 September 2014

PERADABAN ISLAM MASA DAULAH FATHIMIYAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Islam mengalami peradaban di Mesir dimulai ketika kekuasaan Daulah Fathimiyah mulai masuk ke daerah tersebut yang di pimpin oleh Al Mu’iz pada tahun 696 M. Peradaban islam ini dari masa ke masa mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Ada beberapa fase dalam perkembangannya. Dalam hal ini, kami akan menjelaskan sedikit sejarah tentang peradaban islam pada masa Daulah Fathimiyah di Mesir.
B.   Rumusan Masalah
1.     Sejarah Singkat Daulah Fathimiyah di Mesir
2.     Peradaban Islam Masa Daulah Fathimiyah
3.     Masa Kemunduran Dinasti Fathimiyah

 
BAB II
PEMBAHASAN

1.     Sejarah Singkat Daulah Fathimiyah di Mesir
Berdirinya Daulah Fathimiyah ini adalah hasil perwujudan dari cita-cita para pengikut faham syi’ah yang menginginkan pemerintahan di bawah kepemimpinan keluarga Ali bin Abi Thalib. Keinginan ini muncul karena semenjak kekalahan Ali dari Muawiyah, Syi’ah menjadi faham keagamaan yang sering mendapatkan tekanan dari khalifah yang berkuasa. Mereka memiliki keyakinan bahwa khalifah setelah Nabi Muhammad seharusnya berada di tangan Ali dan keluarganya. Khalifah menurut kaum Syi’ah memiliki kedudukan sama seperti Nabi Muhammad, sebagai pemimpin agama dan sekaligus sebagai kepala Negara.[1]
Berdirinya Dinasti Fathimiyah bermula pada akhir abad ke-10.[2] Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Isma’iliyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bawah tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas.[3] Hal ini di lakukan untuk menghindari pemberangusan yang dilakukan Daulah Abbasiyah yang beraliran Sunni. Lebih dari satu setengah abad kelompok Syi’ah Isma’iliyah mengembangkan dakwah dan membangun kekuatan hingga lahir Daulah Fathimiyah.[4]
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama. Pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Isma’iliyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab, aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah.[5] Runtuhnya daulah Aghlabiyah inilah yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Daulah Fathimiyah.[6]
2.     Peradaban Islam Pada Masa Daulah Fathimiyah di Mesir
Setelah basis kekuasaan Daulah Fathimiyah di Tunis kuat, maka Daulah Fathimiyah di bawah pimpinan al Mu’iz (khalifah ke-4) dengan panglimanya Jauhar al Katib al Siqili dapat menguasai Mesir pada tahun 696 ia mendirikan kota baru yang di sebut al Qahirah (Kairo) yang berarti kemenangan pada tahun 326 H/973 M dan kemudian menjadikannya sebagai ibu kota Daulah Fathimiyah pada masa-masa selanjutnya.[7] Pada periode ini perkembanggan islam di Mesir sangatlah pesat terutama pada masa kepemimpinan al-Mu’iz, al-Aziz, dan al-Hakim.
Pada masa Al-Muiz didirikanlah masjid Al-Azhar atas inisiatif Jauhar yang  dijadikan sebagai salah satu komitmen untuk menghidupkan peradaban islam.[8] Al-Mu’iz juga melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[9] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.[10]
Pada masa  Al-Aziz masjid al azhar mengalami perubahan besar. Keistimewaan masjid ini, di mulai dari sebuah masjid dan berkembang menjadi sebuah universitas. Al azhar yang dibangun tahun 970 M sebagai masjid yang baru, lama kelamaan menjadi pusat pendidikan tinggi islam yang berkanjut sampai sekarang. Semula perguruan tinggi al azhar dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin syi’ah, namun kemudian oleh Shalahudin Al-Ayyubi di ubah menjadi pusat pendidikan sunni sampai sekarang.[11]
Al-Aziz juga membangun kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian dan membangun jembatan guna memudahkan perpindahan barang dan orang. Usaha ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian Negara. Hubungan dagang dengan negeri-negeri lain juga dibangun. Masyarakat di dorong menghasilkan produk industri dan seni yang kompotitif. Untuk menjadikan mesir sebagai kota perdagangan dunia, dibangunlah pasar dengan 20.000 toko.[12]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga yang mengoleksi jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan apoteker.[13]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi  bidang :
a.     Administrasi dan pemerintahan
b.     Ekonomi
c.      Seni dan kemegahan pembangunan fisik
d.     Ilmu pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syi’ah Isma’iliyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.  Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Isma’iliyah oleh Dinasti Fathimiyah. Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
3.     Masa Kemunduran Dinasti Fathimiyah
Kemunduran dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang duilakukan Dinasti abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari Barbar menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.[14]
Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur 11 tahun ketika naik tahta. Pemerintahnya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberap orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja keristen, termasuk didalamnya kuburan suci umat Kristen.
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khlifah, kekuasaan sesungguhnya berada ditangan para wazir, yang kemudian sering mendapat julukan kebangsawanan al-malik. Anak dan pengganti al-Hakim, yaitu al-Zahir (1021-1035) berumur 16 tahun ketika naik tahta. Pengganti al-Zahir adalah anaknya yang berusia 11 tahun , ma’ad al-Mutashir (1035-1094), yang berkuasa hampir 60 tahun, sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam Sejarah islam.[15]
Sejak kekuasaan Ma’ad al-Muntashir kekacauan terjadi dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang turki, suku Berber dan pasukan sudan. Kekuasaan Negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah, ditandai dengan munculnya perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Ketika al-Mustanshir meninggal, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak khlifah paling muda yaitu berumur lima tahun sebagai khalifah denganjulukan al-Musta’li (1101-1130) dengan harapan bahwa ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Ketika al-Hafidh (1130-1149) meninggal, ekuasaan-kekuasaannya betul-betul hanya sebatas istana kekhalifahan.
Pamor Dinasti Fatimiyah karena semakin banyaknya khalifah yang diangkat dalam usia yang sangat belia, disamping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan dikalangan militer antara unsure Barbar, Turki bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi para penguasa itu selalu tengelam dalam kehdupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology syi’ah pada rakyat yang mayoritas sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan diantara pejabat dan militer dan ketidak puasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul baying-bayang serbuan tentara salib.
 Disusun Oleh: achmad asshidiq dan Nur Rohmah

[1] Machfud Syaefudin,dkk, Dinamika Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Ilmu,2013),  hal.113
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Ed. 1), hal. Pendahuluan
[3] G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, ( Bandung: Mizan,1993), hal. 17
[4] Machfud Syaefudin, Op.cit. hal. 114
[5] Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, ( Jakarta: Rineka Cipta,2003),  hal. 19
[6] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 115
[7] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Op.cit., hal. 196
[8] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 123
[9] Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235
[10] Abu Su’ud, op.cit, hal.92
[11] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 148-149
[12] Machfud Syaefudin, Op.cit., hal. 124                                                                
[13] Ibid hal.125
[14] Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), hal. 792
[15] Ibid, hal. 793

No comments: