BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam mengalami peradaban di Mesir dimulai ketika kekuasaan Daulah
Fathimiyah mulai masuk ke daerah tersebut yang di pimpin oleh Al Mu’iz pada
tahun 696 M. Peradaban islam ini dari masa ke masa mengalami pasang surut dalam
perkembangannya. Ada beberapa fase dalam perkembangannya. Dalam hal ini, kami
akan menjelaskan sedikit sejarah tentang peradaban islam pada masa Daulah
Fathimiyah di Mesir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah Singkat
Daulah Fathimiyah di Mesir
2.
Peradaban Islam
Masa Daulah Fathimiyah
3.
Masa Kemunduran
Dinasti Fathimiyah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Singkat
Daulah Fathimiyah di Mesir
Berdirinya Daulah Fathimiyah ini adalah hasil perwujudan dari
cita-cita para pengikut faham syi’ah yang menginginkan pemerintahan di bawah
kepemimpinan keluarga Ali bin Abi Thalib. Keinginan ini muncul karena semenjak kekalahan
Ali dari Muawiyah, Syi’ah menjadi faham keagamaan yang sering mendapatkan
tekanan dari khalifah yang berkuasa. Mereka memiliki keyakinan bahwa khalifah
setelah Nabi Muhammad seharusnya berada di tangan Ali dan keluarganya. Khalifah
menurut kaum Syi’ah memiliki kedudukan sama seperti Nabi Muhammad, sebagai
pemimpin agama dan sekaligus sebagai kepala Negara.[1]
Berdirinya Dinasti Fathimiyah bermula pada akhir abad ke-10.[2] Dinasti
Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909
M hingga 1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan
tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti
itu, sekelompok Syi’ah Isma’iliyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk
memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan
bawah tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas.[3]
Hal ini di lakukan untuk menghindari pemberangusan yang dilakukan Daulah Abbasiyah
yang beraliran Sunni. Lebih dari satu setengah abad kelompok Syi’ah Isma’iliyah
mengembangkan dakwah dan membangun kekuatan hingga lahir Daulah Fathimiyah.[4]
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan
sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa.
Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti
Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama. Pendukung
Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah
menjadi pengikut Syi’ah Isma’iliyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah
yang terdiri dari suku bangsa Arab, aliran sunni dan terikat dengan penguasa
Abbasiyah.[5]
Runtuhnya daulah Aghlabiyah inilah yang menjadi tonggak sejarah berdirinya
Daulah Fathimiyah.[6]
2.
Peradaban Islam
Pada Masa Daulah Fathimiyah di Mesir
Setelah basis kekuasaan Daulah Fathimiyah di Tunis kuat, maka
Daulah Fathimiyah di bawah pimpinan al Mu’iz (khalifah ke-4) dengan panglimanya
Jauhar al Katib al Siqili dapat menguasai Mesir pada tahun 696 ia mendirikan
kota baru yang di sebut al Qahirah (Kairo) yang berarti kemenangan pada tahun
326 H/973 M dan kemudian menjadikannya sebagai ibu kota Daulah Fathimiyah pada
masa-masa selanjutnya.[7] Pada
periode ini perkembanggan islam di Mesir sangatlah pesat terutama pada masa
kepemimpinan al-Mu’iz, al-Aziz, dan al-Hakim.
Pada masa Al-Muiz didirikanlah masjid Al-Azhar atas inisiatif
Jauhar yang dijadikan sebagai salah satu
komitmen untuk menghidupkan peradaban islam.[8]
Al-Mu’iz juga melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang
administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[9] Di
bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan
tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara,
personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir
didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk
Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.[10]
Pada masa Al-Aziz masjid al
azhar mengalami perubahan besar. Keistimewaan masjid ini, di mulai dari sebuah
masjid dan berkembang menjadi sebuah universitas. Al azhar yang dibangun tahun
970 M sebagai masjid yang baru, lama kelamaan menjadi pusat pendidikan tinggi
islam yang berkanjut sampai sekarang. Semula perguruan tinggi al azhar
dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin syi’ah, namun kemudian oleh
Shalahudin Al-Ayyubi di ubah menjadi pusat pendidikan sunni sampai sekarang.[11]
Al-Aziz juga membangun kanal-kanal guna mengairi tanah pertanian
dan membangun jembatan guna memudahkan perpindahan barang dan orang. Usaha ini
dimaksudkan untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian Negara. Hubungan
dagang dengan negeri-negeri lain juga dibangun. Masyarakat di dorong
menghasilkan produk industri dan seni yang kompotitif. Untuk menjadikan mesir
sebagai kota perdagangan dunia, dibangunlah pasar dengan 20.000 toko.[12]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar
al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan
astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga yang mengoleksi
jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim
membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para
ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang
astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij
al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus
kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang
astronom, fisikawan dan apoteker.[13]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban Islam masa Fathimiyah dapat
disimpulkan meliputi bidang :
a.
Administrasi
dan pemerintahan
b.
Ekonomi
c.
Seni dan
kemegahan pembangunan fisik
d.
Ilmu
pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para
penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni
menyeberang ke Syi’ah Isma’iliyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan
agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa
khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama
Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis
makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap
gila. Inilah titik awal dan alasan
terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di
Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat
pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar
(970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan
peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Isma’iliyah oleh Dinasti
Fathimiyah. Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan
Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi
pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
3.
Masa Kemunduran
Dinasti Fathimiyah
Kemunduran dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan
al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor
tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang duilakukan Dinasti
abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta
pertikaian dengan pasukan dari Barbar menjadi salah satu sebab utama keruntuhan
Dinasti ini. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse
dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga
Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.[14]
Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur
11 tahun ketika naik tahta. Pemerintahnya ditandai dengan tindakan-tindakan
kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberap orang wazirnya, menghancurkan
beberapa gereja keristen, termasuk didalamnya kuburan suci umat Kristen.
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khlifah,
kekuasaan sesungguhnya berada ditangan para wazir, yang kemudian sering
mendapat julukan kebangsawanan al-malik. Anak dan pengganti al-Hakim, yaitu
al-Zahir (1021-1035) berumur 16 tahun ketika naik tahta. Pengganti al-Zahir
adalah anaknya yang berusia 11 tahun , ma’ad al-Mutashir (1035-1094), yang
berkuasa hampir 60 tahun, sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam Sejarah
islam.[15]
Sejak kekuasaan Ma’ad al-Muntashir kekacauan terjadi dimana-mana.
Kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang turki, suku Berber dan
pasukan sudan. Kekuasaan Negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama tujuh
tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah, ditandai dengan munculnya
perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok
tentaranya masing-masing. Ketika al-Mustanshir meninggal, al-Malik al-Afdhal
menempatkan anak khlifah paling muda yaitu berumur lima tahun sebagai khalifah
denganjulukan al-Musta’li (1101-1130) dengan harapan bahwa ia akan memerintah
dibawah pengaruhnya. Ketika al-Hafidh (1130-1149) meninggal,
ekuasaan-kekuasaannya betul-betul hanya sebatas istana kekhalifahan.
Pamor Dinasti Fatimiyah karena semakin banyaknya khalifah yang
diangkat dalam usia yang sangat belia, disamping mereka hanya menjadi boneka
para wazir juga timbul konflik kepentingan dikalangan militer antara unsure
Barbar, Turki bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi para penguasa itu selalu
tengelam dalam kehdupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology syi’ah pada
rakyat yang mayoritas sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan
diantara pejabat dan militer dan ketidak puasan rakyat atas kebijakan
pemerintah, muncul baying-bayang serbuan tentara salib.
Disusun Oleh: achmad asshidiq dan Nur Rohmah
[1] Machfud
Syaefudin,dkk, Dinamika Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Ilmu,2013),
hal.113
[2] Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011, Ed. 1), hal. Pendahuluan
[3] G. E. Boswort,
Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh
Ilyas Hasan, ( Bandung: Mizan,1993), hal. 17
[4] Machfud
Syaefudin, Op.cit. hal. 114
[5] Abu Su’ud, Islamogy,
Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, ( Jakarta:
Rineka Cipta,2003), hal. 19
[6] Machfud
Syaefudin, Op.cit., hal. 115
[7] Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, Op.cit., hal. 196
[8] Machfud
Syaefudin, Op.cit., hal. 123
[9] Josoef Sou’eb,
Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235
[10] Abu Su’ud,
op.cit, hal.92
[11] Prof. Dr. Hj.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003),
hal. 148-149
[12]
Machfud
Syaefudin, Op.cit., hal. 124
[13] Ibid hal.125
[14] Philip K
Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), hal. 792
[15] Ibid, hal. 793
No comments:
Post a Comment