BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Shalat adalah ibadah yang tidak bisa di tinggalkan, baik dalam
keadaan apapun dan tidak ada istilah dispensasi. Shalat merupakan kewajiban
bagi seluruh umat muslim dan merupakan perintah langsung dari Allah swt. yang
diberikan kepada Nabi Muhammad saw., ketika melaksanakan misi suci yaitu Isra’
Mi’raj, yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12 sesudah kenabian.[1]
Mengingat shalat begitu pentingnya
dalam agama islam, maka ibadah ini tentu harus menjadi perhatian
sungguh-sungguh umat islam, termasuk meperhatikan waktu-waktu pelaksanaannya.[2]
Dalam makalah ini, kami akan
memberikan sedikit penjelasan mengenai waktu-waktu shalat.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah :
1.
Apa
pengertian shalat dan wakunya?
2.
Dasar
waktu shalat dan perincian waktunya.
3.
Bagaimana
peran ilmu falak terhadap penentuan awal waktu shalat?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Shalat dan Waktunya
Shalat menurut bahasa (lughat) berarti dari kata shala, yashilu, shalatan, yang mempunyai
arti do’a. sebagai mana yang terdapat dalam al-Qur’an surat at-Taubat [9] ayat
103 :
وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم .
“sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. at-Taubat [9]: 103)
Sedangkan menurut istilah shalat
berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Adapun
syarat-syarat shalat adalah :
1.
Thaharah
2.
Suci
badan, pakaian dan tempat dari pada najis
3.
Menutup
aurat
4.
Mengetahui
waktu shalat telah tiba
5.
Menghadap
qiblat
6.
Mengetahui
kefardluan shalat
Allah
SWT telah berfirman dalam al-Qur’an QS An-Nisa ayat 103, sebagai berikut :
“ Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang telah di tentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat
di atas menerangkan tentang waktu shalat secara Ijmal (global). Para mufassir
berbeda pendapat tentang tafsir ayat “Kitaaban
Mauquutaa”. Ada dua pendapat :
Pertama,
yang mengartikannya sebagai kewaiban saja tanpa ada embel-embel waktu sebagaimana riwayat dari ‘Athiyah Al-‘Aufy,
Al-Hasan, Abu Ja’far, Ibnu Abbas (pada salah satu riwayatnya), Ibnu Zaid, As
Suddiy dan Mujahid. Sebagaimana dalam hadist yang di riwayatkan oleh Abu As
Sa’ib, yang artinya : “ Mengabari aku Abu As Sa’ib, Ia berkata mengabarkan kami
Ibnu Fuadhail dari Fuadhail bin Marzuq dari Athiyah Al-‘Aufy, Ia berkata :
mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban
Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah diwajibkan.”
Kedua, menyatakan
“Kitaban Mauquta” bermakna waktu yang ditentukan. Inilah pendapat yang shahih
sebagaimana riwayat dari Zaid bin Aslam, Ibnu Abbas (pada salah satu
riwayatnya), Mujahid, As Suddiy, Ibnu Qutaibah, dan Qatadah. Artinya :
“Mengabari aku Al-Mutsana, Ia berkata mengabarkan kami Ishaq, Ia berkata :
mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban
Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah waktu yang ditentukan.”
Dari
ayat ini Az-Zamakhsyariy berkomentar bahwa seorang tidak boleh mengakhirkan
waktu atau mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam keadaan aman ataupun
takut. Penggunaan lafadz “kaanat” menunjukkan ke-mudawamah-an
(kontinuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat sudah pasti
sebagaimana dikatakan oleh Al-Husain bin Abu Al-‘Izz Al-Hamadaniy.[4]
B. Dasar Waktu
Shalat dan Perincian Waktunya
a.
Dasar
Waktu Shalat
Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu
mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah
muwaqqot).
Adapun dasar hukum waktu shalat
antara lain :
1.
Surat
An-Nisa[4] ayat 103
“
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah di tentukan waktunya bagi
orang-orang yang beriman.”
Keterangan
ayat An-Nisa [4] ayat 103 sama seperti yang telah teruraikan diatas.
2.
Surat
Thaha [20] ayat 130
“Dan
berasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada
waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”
Para
ulama berbeda pendapat mengenai arti ayat “ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy
Syamsi Wa Qabla Ghurubiha” dan “Athraf An Nahar”. Ada yang
mengartikannya shalat subuh, ashar, maghrib, dan isya’, bahkan ada yang
mengartikannya shalat lima waktu. Ibnu Juraij berkata yang di maksud ayat ini adalah
shalat Ashar sedangkan maksud “Athraf An Nahar” adalah shalat lima waktu. Redaksi riwayat
tersebut adalah sebagai berikut : “Mengabarkan kami Al Qasim, Ia berkata :
mengabarkan kami Al Husain, Ia berkata : mengabarkan kami Hujaj : mengenai ayat
“ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy Syamsi Wa Qabla Ghurubiha”.
Berkata Ibnu Juraij : maksudnya ialah shalat ashar sedangkan “Athraf An
Nahar” maknanya adalah shalat lima waktu.[5]
3.
Surat
Al-Isra’ [17] ayat 78
“Dirikanlah
shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
4.
Surat
Hud [11] ayat 114
“Dan
dirikanlah sembahyang it pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan padabagian
permulaan daripada malam.”
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna “Tharafay An Nahar” dan “ Zulfan minal
Lail”. Namun ulama telah sepakat bahwa salah sau shalat yang di maksud ayat
“Tharafay An Nahar” tersebut
adalah Shalat Al-Ghadat (hanya ada satu kemungkinan yakni shalat subuh,
inilah pendapat yang disepakati oleh jumhur ulama), sedangkan shalat yang kedua
Shalat Al-Ghadat yang di maksud bisa shalat Ashar, Dhuhur, Subuh atau
Maghrib, ini pulalah yang di simpulkan Ar Razaiy dalam Mafatih A-Ghaib-nya.[6]
5.
Hadits
riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
“Dari
Jabir bin Abdullah r.a. berkata: telah datang kepada Nabi saw. Jibril a.s. lalu
berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian Nabi saw. shalat
dhuhur di kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu
ashar lalu berkata: bangunlah lalu bersembahyanglah! Kemudian Nabi shalat ashar
di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.
Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib lalu berkata :
bangunlah! Lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat maghrib di kala matahari
terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ lalu berkata :
bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat isya’ di kala mega merah telah
terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata :
bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing,
atau ia berkata : di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya
pada waktu dhuhur, kemudian berkata kepadanay : bangunlah lalu shalatlah,
kemudian Nabi saw. shalat dhuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.
Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar dan berkata : bangunlah lalu
shalatlah! Kemudian Nabi shalat ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali
sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib dalam waktu
yang sama, tidak bergeser pada waktu yang sudah. Kemudian datang lagi kepadanya
di waktu isya’ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang
sepertiga malam, kemudian Nabi shalat isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di kala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah,
kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah
waktu shalat. (HR. Imam Ahmad dan Nasa’I dan Tirmidzi).[7]
b.
Perincian
Waktu Shalat
1)
Waktu
Dhuhur
Di sebut juga waktu istiwa (zawaal) terjadi ketika
matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan
tengah hari (midday/noon). Pada saat istiwa, mulai tergelincirnya
matahari sampai saat bayang-bayang benda sama panjang dengan bendanya, yakni
ketika matahari telah condong kearah barat. firman Allah SWT, “..dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra’ [17]:8).
2)
Waktu
Ashar
Menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, waktu ashar diawali
jika panjang baying-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara
Mazhab Imam Hanafi mendefinisikan waktu ashar jika panjang bayang-bayang benda
dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Dan ulama fikih sepakat
berakhirnya waktu shalat ini beberapa saat menjelang terbenamnya matahari, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “siapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ashar (beberapa saat) menjelang terbenamnya matahari, berarti telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dan Al-Baihaqi).[8]
Artinya : “siapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ashar (beberapa saat) menjelang terbenamnya matahari, berarti telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dan Al-Baihaqi).[8]
3)
Waktu
Maghrib
Waktu maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah
menjadi ijma’(kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan
matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya Syafaq (mega merah).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Waku
maghrib sampai hilangnya syafaq(mega merah)”. (HR Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah
adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.
sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa syafaq adalah warna keputihan yang
berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang.
Dalil beliau adalah:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dan akhir
waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam.” (HR Tirmidzi). Namun
menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.[9]
4)
Waktu
Isya’
Di awali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit barat,
hingga terbitnya fajar shaddiq di langit timur. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw: “…Apabila warna merah di ufuk barat telah hilang maka wajib
shakat isya’…” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr).
Dan yang menjadi alasan berakhirnya waktu shalat isya’, sabda
Rasulullah saw: “orang yang tertidur tidak di anggap sebagai orang yang
lalai karena yang di anggap orang yang lalai ialah orang yang tidak mengerjakan
shalat pada waktunya sampai masuk waktu shalat lain.”(HR. At-Tirmidzi,
An-Nasa’I, Ahmad, Ath-Thayalisi, Ad-Dairami, dan Ath-Thabrani).
Oleh karena itu, kesepakatan ulama fikih bahwasanya waktu
berakhirnya shalat isya’ dengan masuknya waktu shalat subuh.
5)
Waktu
Shubuh
Waktu subuh di awali saat fajar shaddiq sapai matahari
terbit(syuruq).
Secara astronomis subuh dimulai saat kedudukan matahari sebesar 180
di bawah horizon timur atau disebut dengan “astronomical twilight” sampai
sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk
hakiki/visible horizon).
C. Peran Ilmu
Falak Terhadap Penentuan Awal Waktu Shalat
Secara sederhana ilmu falak bisa di definisikan sebagai ilmu yang
mempelajari peredaran benda-benda langit (matahari, bumi, dan bulan) untuk
keperluan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim. Sebagai salah satu contoh dalam
pelaksanaan penentuan waktu shalat, pada dasarnya adalah menentukan posisi
matahari pada waktu yang telah di tentukan (Al-Qur’an dan Hadits) pada tempat
tertentu.[10]
Penentuan
waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari
berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada
prediksi pancer pada awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut
disesuaikan dengan keadaan alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi
Muhammad saw yang menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.
Hal-hal
yang berkaitan dengan masalah ibadah dimana Ilmu Falak sebagai bagian penting,
dapat dirinci sebagai berikut : penentuan awal waktu shalat, arah kiblat awal
bulan hijriyah, dan gerhana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat
berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.
Ada
5 dasar waktu shalat, yaitu :
I.
Surat
An-Nisa[4] ayat 103
II.
Surat
Thaha [20] ayat 130
III.
Surat
Al-Isra’ [17] ayat 78
IV.
Surat
Hud [11] ayat 114
V.
Hadits
riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
Dan
perincian waktu shalat sebagaimana yang telah di paparkan diatas.
Penentuan waktu shalat
pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik
kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada
awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut disesuaikan dengan keadaan
alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw yang
menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.
[1]
Slamet Hambali, Ilmu Falak jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana
IAIN Walisongo2011), hlm.103.
[2] Ahmad
Maimun, Ilmu Falak Teori dan Praktik,
(Kudus), hal.36.
[3]
Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak
Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.77.
[4] Slamet
Hambali, Ilmu Falak jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana
IAIN Walisongo2011), hlm.107-109
[5] Slamet
Hambali, Ilmu Falak jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana
IAIN Walisongo2011), hlm.113.
[6] Slamet
Hambali, Ilmu Falak jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana
IAIN Walisongo2011), hlm.120.
[7]
Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak
Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.82
[8]
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten
: PT Aufa Media, 2013), hlm.83-85.
[9] Slamet
Hambali, Ilmu Falak jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana
IAIN Walisongo2011), hlm.132.
[10]
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten
: PT Aufa Media, 2013), hlm.77.
No comments:
Post a Comment