Wednesday, 8 October 2014

Ilmu Falak dan Penentuan Awal Waktu Sholat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Shalat adalah ibadah yang tidak bisa di tinggalkan, baik dalam keadaan apapun dan tidak ada istilah dispensasi. Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan merupakan perintah langsung dari Allah swt. yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw., ketika melaksanakan misi suci yaitu Isra’ Mi’raj, yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12 sesudah kenabian.[1]
            Mengingat shalat begitu pentingnya dalam agama islam, maka ibadah ini tentu harus menjadi perhatian sungguh-sungguh umat islam, termasuk meperhatikan waktu-waktu pelaksanaannya.[2]
            Dalam makalah ini, kami akan memberikan sedikit penjelasan mengenai waktu-waktu shalat.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian shalat dan wakunya?
2.      Dasar waktu shalat dan perincian waktunya.
3.      Bagaimana peran ilmu falak terhadap penentuan awal waktu shalat?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat dan Waktunya
            Shalat menurut bahasa (lughat) berarti dari kata shala, yashilu, shalatan, yang mempunyai arti do’a. sebagai mana yang terdapat dalam al-Qur’an surat at-Taubat [9] ayat 103 :
وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم .
            “sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. at-Taubat [9]: 103)
            Sedangkan menurut istilah shalat berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Adapun syarat-syarat shalat adalah :
1.      Thaharah
2.      Suci badan, pakaian dan tempat dari pada najis
3.      Menutup aurat
4.      Mengetahui waktu shalat telah tiba
5.      Menghadap qiblat
6.      Mengetahui kefardluan shalat
Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an QS An-Nisa ayat 103, sebagai berikut :
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah di tentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat di atas menerangkan tentang waktu shalat secara Ijmal (global). Para mufassir berbeda pendapat tentang tafsir ayat “Kitaaban Mauquutaa”. Ada dua pendapat :
Pertama, yang mengartikannya sebagai kewaiban saja tanpa ada embel-embel waktu sebagaimana riwayat dari ‘Athiyah Al-‘Aufy, Al-Hasan, Abu Ja’far, Ibnu Abbas (pada salah satu riwayatnya), Ibnu Zaid, As Suddiy dan Mujahid. Sebagaimana dalam hadist yang di riwayatkan oleh Abu As Sa’ib, yang artinya : “ Mengabari aku Abu As Sa’ib, Ia berkata mengabarkan kami Ibnu Fuadhail dari Fuadhail bin Marzuq dari Athiyah Al-‘Aufy, Ia berkata : mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah diwajibkan.”
Kedua, menyatakan “Kitaban Mauquta” bermakna waktu yang ditentukan. Inilah pendapat yang shahih sebagaimana riwayat dari Zaid bin Aslam, Ibnu Abbas (pada salah satu riwayatnya), Mujahid, As Suddiy, Ibnu Qutaibah, dan Qatadah. Artinya : “Mengabari aku Al-Mutsana, Ia berkata mengabarkan kami Ishaq, Ia berkata : mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah waktu yang ditentukan.”
Dari ayat ini Az-Zamakhsyariy berkomentar bahwa seorang tidak boleh mengakhirkan waktu atau mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam keadaan aman ataupun takut. Penggunaan lafadz “kaanat” menunjukkan ke-mudawamah-an (kontinuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat sudah pasti sebagaimana dikatakan oleh Al-Husain bin Abu Al-‘Izz Al-Hamadaniy.[4]
B. Dasar Waktu Shalat dan Perincian Waktunya
a.       Dasar Waktu Shalat
            Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah muwaqqot).
            Adapun dasar hukum waktu shalat antara lain :
1.      Surat An-Nisa[4] ayat 103
“ Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah di tentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.”
Keterangan ayat An-Nisa [4] ayat 103 sama seperti yang telah teruraikan diatas.
2.      Surat Thaha [20] ayat 130
“Dan berasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti ayat  “ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy Syamsi Wa Qabla Ghurubiha” dan “Athraf An Nahar”. Ada yang mengartikannya shalat subuh, ashar, maghrib, dan isya’, bahkan ada yang mengartikannya shalat lima waktu. Ibnu Juraij berkata yang di maksud ayat ini adalah shalat Ashar sedangkan maksud “Athraf An Nahar”  adalah shalat lima waktu. Redaksi riwayat tersebut adalah sebagai berikut : “Mengabarkan kami Al Qasim, Ia berkata : mengabarkan kami Al Husain, Ia berkata : mengabarkan kami Hujaj : mengenai ayat “ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy Syamsi Wa Qabla Ghurubiha”. Berkata Ibnu Juraij : maksudnya ialah shalat ashar sedangkan “Athraf An Nahar” maknanya adalah shalat lima waktu.[5]

3.      Surat Al-Isra’ [17] ayat 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

4.      Surat Hud [11] ayat 114
“Dan dirikanlah sembahyang it pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan padabagian permulaan daripada malam.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Tharafay An Nahar” dan “ Zulfan minal Lail”. Namun ulama telah sepakat bahwa salah sau shalat yang di maksud ayat “Tharafay An Nahar”  tersebut adalah Shalat Al-Ghadat (hanya ada satu kemungkinan yakni shalat subuh, inilah pendapat yang disepakati oleh jumhur ulama), sedangkan shalat yang kedua Shalat Al-Ghadat yang di maksud bisa shalat Ashar, Dhuhur, Subuh atau Maghrib, ini pulalah yang di simpulkan Ar Razaiy dalam Mafatih A-Ghaib-nya.[6]

5.      Hadits riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: telah datang kepada Nabi saw. Jibril a.s. lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian Nabi saw. shalat dhuhur di kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata: bangunlah lalu bersembahyanglah! Kemudian Nabi shalat ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.  Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib lalu berkata : bangunlah! Lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat maghrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat isya’ di kala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata : di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu dhuhur, kemudian berkata kepadanay : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi saw. shalat dhuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar dan berkata : bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser pada waktu yang sudah. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu isya’ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (HR. Imam Ahmad dan Nasa’I dan Tirmidzi).[7]

b.      Perincian Waktu Shalat
1)      Waktu Dhuhur
Di sebut juga waktu istiwa (zawaal) terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan tengah hari (midday/noon). Pada saat istiwa, mulai tergelincirnya matahari sampai saat bayang-bayang benda sama panjang dengan bendanya, yakni ketika matahari telah condong kearah barat. firman Allah SWT, “..dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra’ [17]:8).

2)      Waktu Ashar
Menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, waktu ashar diawali jika panjang baying-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Mazhab Imam Hanafi mendefinisikan waktu ashar jika panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Dan ulama fikih sepakat berakhirnya waktu shalat ini beberapa saat menjelang terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “siapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ashar (beberapa saat) menjelang terbenamnya matahari, berarti telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dan Al-Baihaqi).[8]

3)      Waktu Maghrib
Waktu maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma’(kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya Syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Waku maghrib sampai hilangnya syafaq(mega merah)”. (HR Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam.” (HR Tirmidzi). Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.[9]
4)      Waktu Isya’
Di awali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit barat, hingga terbitnya fajar shaddiq di langit timur. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “…Apabila warna merah di ufuk barat telah hilang maka wajib shakat isya’…” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr).
Dan yang menjadi alasan berakhirnya waktu shalat isya’, sabda Rasulullah saw: “orang yang tertidur tidak di anggap sebagai orang yang lalai karena yang di anggap orang yang lalai ialah orang yang tidak mengerjakan shalat pada waktunya sampai masuk waktu shalat lain.”(HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, Ath-Thayalisi, Ad-Dairami, dan Ath-Thabrani).
Oleh karena itu, kesepakatan ulama fikih bahwasanya waktu berakhirnya shalat isya’ dengan masuknya waktu shalat subuh.
5)      Waktu Shubuh
Waktu subuh di awali saat fajar shaddiq sapai matahari terbit(syuruq).
Secara astronomis subuh dimulai saat kedudukan matahari sebesar 180 di bawah horizon timur atau disebut dengan “astronomical twilight” sampai sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk hakiki/visible horizon).
C. Peran Ilmu Falak Terhadap Penentuan Awal Waktu Shalat
            Secara sederhana ilmu falak bisa di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari peredaran benda-benda langit (matahari, bumi, dan bulan) untuk keperluan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim. Sebagai salah satu contoh dalam pelaksanaan penentuan waktu shalat, pada dasarnya adalah menentukan posisi matahari pada waktu yang telah di tentukan (Al-Qur’an dan Hadits) pada tempat tertentu.[10]
            Penentuan waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut disesuaikan dengan keadaan alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.
            Hal-hal yang berkaitan dengan masalah ibadah dimana Ilmu Falak sebagai bagian penting, dapat dirinci sebagai berikut : penentuan awal waktu shalat, arah kiblat awal bulan hijriyah, dan gerhana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.
Ada 5 dasar waktu shalat, yaitu :
                               I.            Surat An-Nisa[4] ayat 103
                            II.            Surat Thaha [20] ayat 130
                         III.            Surat Al-Isra’ [17] ayat 78
                         IV.            Surat Hud [11] ayat 114
                            V.            Hadits riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
Dan perincian waktu shalat sebagaimana yang telah di paparkan diatas.
Penentuan waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut disesuaikan dengan keadaan alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.




[1] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.103.
[2] Ahmad Maimun, Ilmu Falak Teori dan Praktik, (Kudus), hal.36.
[3] Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.77.
[4] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.107-109
[5] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.113.
[6] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.120.
[7] Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.82
[8] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten : PT Aufa Media, 2013), hlm.83-85.

[9] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.132.
[10] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten : PT Aufa Media, 2013), hlm.77.

No comments: